Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu
peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebagian orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada
Bulan Rajab. Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan
sebenarnya terjadinya kisah ini?
Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’ Mi’raj? Simak pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.
Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata
‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah
perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah
ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al
Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang
dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang
digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah
dalam surat An
Najm ayat 1-18.[1]
Kisah Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan
ini disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla
dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِير
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ
صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ
الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى.
فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى.
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ
سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ
مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ
رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya
itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu)
menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi.
Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia
menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya
tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah)
hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya
Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal,
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu
dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya
banyak terdapat dalam hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al
Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj
menyebutkan 16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin
Malik, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay
bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin
Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar
radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan
kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya ,
dari sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu
hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal,
dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya
sejauh pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis,
lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para
Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar .
Kemudian datang kepadaku Jibril ‘alaihis
salaam dengan membawa bejana berisi
khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air
susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan
Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke
langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu
dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa,
Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf
‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keempat dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:
“Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah
diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit keempat) dan saya bertemu
dengan Idris alaihis salaam. Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan
Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan:
“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi
kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:
“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad”
Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim.
Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke
Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian
Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti
telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi
oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk
Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
Lalu
Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50
shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam. Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan
Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah
kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan
mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani
Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata:
“Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat.
Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5
shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya,
maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus
saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam,
sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5
shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat.
Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak
ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka
ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu
dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata:
“Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”.
(H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke
kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168
dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini. Terdapat pula
tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’
Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’
Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para
nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam
hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal
jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
1.Menerima berita tersebut.
2.Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
3.Tidak menolak berita tersebut atau mengubah
berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan
berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala
kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[3]
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt
radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam
sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin
datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah
diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar
berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia
menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke
langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata
: “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar
sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”.
Orang-orang musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab:
“Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan.
Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku
tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits
diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah
radhiyallahu’anha).[4]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau langsung membenarkan
dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun
peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu.
Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih
dari Allah dan rasul-Nya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal
tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan
ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa
Isra`, yaitu:
1.Perjalanan
Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi
orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit, seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik
maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau
alami. Oleh karena itu ketika
orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan
tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah
tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang
musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
2.Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan
Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut
para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis
dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat
kedua kiblat dalam satu malam.
3.Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan
mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.[5]
Faedah Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan banyak
faedah, di antaranya :
1.Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda
kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
2.Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan
rasul’alaihimus shalatu wa salaam
3.Peristiwa yang agung ini menunjukkan
keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita
tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
4.Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan
ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan)
ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di
kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh
dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari
dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi
wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata
dalam Lum’atul I’tiqad “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau
mengalaminya dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir)
Quraisy mengingkari dan sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka
tidak mengingkari mimpi”[6]
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata :
“Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra`
dan Mi’raj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…”[7]
1.Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala
dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan
Allah, yakni Allah tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini
merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
2.Mengimani perkara-perkara ghaib yang
disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga
langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta
sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.
3.Penetapan tentang hidupnya para Nabi
‘alaihimus salaam di kubur-kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan
barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di
sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau
meminta syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh
Shalih Alu Syaikh rahimahullah menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui
ruh para Nabi kecuali Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi
Isa karena jasad dan ruh beliau dibawa
ke langit dan beliau belum wafat.[8]
4.Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada
yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
5.Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
6.Allah Ta’ala memiliki sifat kalam
(berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
7.Tingginya kedudukan shalat wajib dalam
Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
8.Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis
salaam terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
9.Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum)
dalam syariat Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum
sempat dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat menjadi lima rakaat.
10.Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
11.Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah
pada saat Mi’raj. Ada
tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan penglihatan, Nabi
melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah namun hanya mendengar
kalam Allah.
12.Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’
Mi’raj hanya berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
13.Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka
dia telah kafir, karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang
mengingkari Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya
hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran.