Rabu, 15 Mei 2013

CERMIN PEMIMPIN

“Benar!,” kata Umar bin Khatthab r.a. “Seandainya aku tahu, siapa yang mengusulkan agar uang tunjanganku ditambah, gajiku dinaikkan, niscaya akan aku pukul wajah mereka,” begitu jawaban spontan Umar ketika mendengar cerita dari putrinya Hafshah r.ha. yang notabene ummul mukmin (istri Baginda Nabi Muhammad SAW) perihal masukan dari para sahabat agar tunjangan untuk dirinya dinaikkan, alasannya sudah tidak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
 
Ceritanya, pada saat itu, para sahabat merasa kasihan melihat Umar r.a. yang begitu gigih mengatur pemerintahan, sementara kebutuhan untuk dirinya kurang tercukupi. Maka, Zubair dan Thalhah, r.huma. menghadap Ali bin Abi Thalib dan Utsman, intinya mengusulkan agar tunjangan untuk khalihaf Umar dinaikkan.
 
Tetapi, semua dari nama-nama itu tidak ada yang berani mengutarakan usulan tersebut, maka, ditempuhlah jalan menghubungi Hafshah putri beliau yang juga istri Nabi. Setel;ah itu, Hafshah memberanikan diri menyampaikan kepada sang ayah. Apa kenyataannya? Umar justru marah. Bahkan, sebagai seorang istri Bagida Nabi, mestinya Hafshah paham, bagaimana keadaan kehidupan beliau, sederhana sekali.

“Putriku!,” demikian Umar bertanya, ceritakan kepadaku tentang pakaian paling baik yang ada di rumah Rasulullah SAW. “Baik ayah! Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna merah yang biasa dipakai pada hati Jumat dan pada saat menerima tamu,” jawab Hafshah r.ha.

Lalu? “Makanan apakah yang paling lezat yang pernah dimakan Rasulullah SAW. di rumahnya?” tanya Umar lagi.

“Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak. Pada suatu hari aku mengolesi roti itu dengan mentega yang terdapat dalam sebuah kaleng yang hampir kosong, Beliau memakannya dengan penuh nikmat dan membagi-bagikannya kepada orang lain,” begitu Hafshah r.ha. menjelaskan.

Umar bertanya lagi, “Apa alas tidur  yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah SAW. di rumahnya?”. Hafshah menjawab: “Sehelai kain tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat, dan pada musim dingin dilipat dua. Separo dijadikan alas tidur separo lagi dijadikan selimut.”

Nah! “Sekarang, pergilah kepada mereka yang mengusulkan agar tunjangan dan gajiku dinaikkan, katakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW telah mencontohkan pola hidup yang sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi pertanggungjawaban akhirat, aku juga akan mengikuti beliau,” tegas Umar.

Katakan juga kepada mereka, jika ada di antara mereka menjadi penguasa, maka, jangan sekali-kali mementingkan diri sendiri dan keluarga. Penguasa harus mengedepankan kepentingan rakyat. Dengan demikian, perintahnya akan didengar rakyat. Sebaliknya, jika penguasa mendholimi rakyat, maka, jangan heran kalau ditinggalkan umat, jangan salahkan mereka.

Umar pun ingin mengikuti jejak khalifah pendahulunya, Abu Bakar r.a. Beliau dikenal sebagai penguasa yang mengedepankan kepentingan rakyat, tidak mau mendahulukan kepentingan pribadi maupun keluarganya. Meski menerima tunjangan dari baitul mal semacam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) tetapi Abu Bakar maupun Umar tidak mau berlebih, apalagi sampai mengatur sukses fee dari proyek-proyek pemerintah, tidak.

Ketika hendak mengakhir kekhalifahannya, Abu Bakar berpesan kepada putrinya Aisyah r.ha., “Kembalikan seluruh barang-barang keperluanku yang diambil dari Baitul Mal dan serahkan kepada penggantiku, mengerti!” demikian kehati-hatian Abu Bakar dalam memimpin umat.

Begitu juga Umar. Suatu ketika, Utbah bin Abi Farqad, bertandang ke rumah amirul mukminin Umar bin Khatthab r.a. Saat itu, sang khalifah sedang makan siang. Utbah dipersilakan masuk dan diajak makan bersama. Betapa kaget Utbah ketika menggigit roti yang menjadi menu utama khalifah. “Wahai amirul mukminin, mestinya engkau mampu membuat roti yang lebih empuk dari tepung yang lebih baik, tidak seperti ini,” saran Utbah.

Umar tidak langsung menjawab. Ia meneteskan air mata, dan bertanya. “Utbah, apakah seluruh rakyatku mampu membeli tepung yang baik, apakah semua rakyatku mampu membuat roti yang empuk? Coba terangkan padaku.”

“Tentu, tidak!” jawab Utbah.

“Sungguh menyesal, kalau ada seorang pemimpin yang hanya mementingkan keenakan dirinya. Apakah engkau menginginkan aku menghabiskan seluruh kenikmatan hidupku di dunia?” begitu jawab Umar. Utbah pun terdiam. Dia baru sadar, bahwa penguasa itu kelak akan diminta pertanggungjawabannya, termasuk harta dan kemewahan yang dinikmati di dunia, apalagi jika semua itu menggunakan uang rakyat. Inilah cermin yang harus ditiru para pejabat kita, jika mereka ingin disegani rakyat dan selamat di hadapan Allah SWT. Waallahu’alam bish-shawab. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar