“Benar!,”
kata Umar bin Khatthab r.a. “Seandainya aku tahu, siapa yang mengusulkan agar
uang tunjanganku ditambah, gajiku dinaikkan, niscaya akan aku pukul wajah
mereka,” begitu jawaban spontan Umar ketika mendengar cerita dari putrinya Hafshah
r.ha. yang notabene ummul mukmin (istri Baginda Nabi Muhammad SAW) perihal
masukan dari para sahabat agar tunjangan untuk dirinya dinaikkan, alasannya
sudah tidak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Ceritanya,
pada saat itu, para sahabat merasa kasihan melihat Umar r.a. yang begitu gigih
mengatur pemerintahan, sementara kebutuhan untuk dirinya kurang tercukupi.
Maka, Zubair dan Thalhah, r.huma. menghadap Ali bin Abi Thalib dan Utsman, intinya
mengusulkan agar tunjangan untuk khalihaf Umar dinaikkan.
Tetapi,
semua dari nama-nama itu tidak ada yang berani mengutarakan usulan tersebut,
maka, ditempuhlah jalan menghubungi Hafshah putri beliau yang juga istri Nabi. Setel;ah
itu, Hafshah memberanikan diri menyampaikan kepada sang ayah. Apa kenyataannya?
Umar justru marah. Bahkan, sebagai seorang istri Bagida Nabi, mestinya Hafshah
paham, bagaimana keadaan kehidupan beliau, sederhana sekali.
“Putriku!,”
demikian Umar bertanya, ceritakan kepadaku tentang pakaian paling baik yang ada
di rumah Rasulullah SAW. “Baik ayah! Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna
merah yang biasa dipakai pada hati Jumat dan pada saat menerima tamu,” jawab
Hafshah r.ha.
Lalu?
“Makanan apakah yang paling lezat yang pernah dimakan Rasulullah SAW. di
rumahnya?” tanya Umar lagi.
“Roti
yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak. Pada suatu hari
aku mengolesi roti itu dengan mentega yang terdapat dalam sebuah kaleng yang
hampir kosong, Beliau memakannya dengan penuh nikmat dan membagi-bagikannya
kepada orang lain,” begitu Hafshah r.ha. menjelaskan.
Umar
bertanya lagi, “Apa alas tidur yang
paling baik yang pernah digunakan Rasulullah SAW. di rumahnya?”. Hafshah
menjawab: “Sehelai kain tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat,
dan pada musim dingin dilipat dua. Separo dijadikan alas tidur separo lagi
dijadikan selimut.”
Nah!
“Sekarang, pergilah kepada mereka yang mengusulkan agar tunjangan dan gajiku
dinaikkan, katakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW telah mencontohkan pola
hidup yang sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi pertanggungjawaban
akhirat, aku juga akan mengikuti beliau,” tegas Umar.
Katakan
juga kepada mereka, jika ada di antara mereka menjadi penguasa, maka, jangan
sekali-kali mementingkan diri sendiri dan keluarga. Penguasa harus
mengedepankan kepentingan rakyat. Dengan demikian, perintahnya akan didengar
rakyat. Sebaliknya, jika penguasa mendholimi rakyat, maka, jangan heran kalau ditinggalkan
umat, jangan salahkan mereka.
Umar
pun ingin mengikuti jejak khalifah pendahulunya, Abu Bakar r.a. Beliau dikenal
sebagai penguasa yang mengedepankan kepentingan rakyat, tidak mau mendahulukan
kepentingan pribadi maupun keluarganya. Meski menerima tunjangan dari baitul
mal semacam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) tetapi Abu Bakar maupun
Umar tidak mau berlebih, apalagi sampai mengatur sukses fee dari proyek-proyek
pemerintah, tidak.
Ketika
hendak mengakhir kekhalifahannya, Abu Bakar berpesan kepada putrinya Aisyah r.ha.,
“Kembalikan seluruh barang-barang keperluanku yang diambil dari Baitul Mal dan
serahkan kepada penggantiku, mengerti!” demikian kehati-hatian Abu Bakar dalam
memimpin umat.
Begitu
juga Umar. Suatu ketika, Utbah bin Abi Farqad, bertandang ke rumah amirul
mukminin Umar bin Khatthab r.a. Saat itu, sang khalifah sedang makan siang. Utbah
dipersilakan masuk dan diajak makan bersama. Betapa kaget Utbah ketika
menggigit roti yang menjadi menu utama khalifah. “Wahai amirul mukminin,
mestinya engkau mampu membuat roti yang lebih empuk dari tepung yang lebih
baik, tidak seperti ini,” saran Utbah.
Umar
tidak langsung menjawab. Ia meneteskan air mata, dan bertanya. “Utbah, apakah
seluruh rakyatku mampu membeli tepung yang baik, apakah semua rakyatku mampu
membuat roti yang empuk? Coba terangkan padaku.”
“Tentu,
tidak!” jawab Utbah.
“Sungguh
menyesal, kalau ada seorang pemimpin yang hanya mementingkan keenakan dirinya.
Apakah engkau menginginkan aku menghabiskan seluruh kenikmatan hidupku di
dunia?” begitu jawab Umar. Utbah pun terdiam. Dia baru sadar, bahwa penguasa
itu kelak akan diminta pertanggungjawabannya, termasuk harta dan kemewahan yang
dinikmati di dunia, apalagi jika semua itu menggunakan uang rakyat. Inilah
cermin yang harus ditiru para pejabat kita, jika mereka ingin disegani rakyat
dan selamat di hadapan Allah SWT. Waallahu’alam bish-shawab. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar