Suatu
ketika, keponakan Khadijah r.a bernama Hakim bin Khizam bin Khuwailid
bertandang ke pasar Ukadz. Seperti biasa, sebelum berangkat ia selalu pamit
kepada sang Bibi (Khadijah), barangkali ada pesan (titip) untuk dibelikan
sesuatu. Dan, benar, Khadijah r.a berpesan agar dibelikan seorang budak dari
bangsa Arab. “Hakim! Tolong kalau Anda sempat, belikan seorang budak untuk
membantu keperluan Bibi,” begitu pesan Khadijah.
Di Pasar
Ukadz, tepatnya di lorong penjualan budak, Hakim menjumpai seorang bernama Zaid
bin Haritsah. Hakim merasa kagum dengan penampilan Zaid yang santun. Setelah
memastikan dia dari bangsa Arab, Hakim pun membelinya. “Bi! Saya telah membelikan
seorang budak yang baik dari bangsa Arab untukmu. Jika Bibi tertarik ambillah,
tetapi jika tidak, maka, tinggalkanlah, karena aku tertarik kepadanya,” kata
Hakim.
Ketika
Khadijah r.a melihatnya, ia pun tertarik. Khadijah lalu mengambilnya, dan
mengganti seluruh biaya pembeliannya. “Terima kasih, Hakim! Saya tertarik, dan
ini saya ganti seluruh biaya untuknya,” jawab Khadijah.
Tidak lama,
Khadijah menikah dengan Rasulullah SAW. dan budak Zaid pun ikut bersama
keluarga Rasulullah. Melihat tabiatnya, Baginda Rasul pun terkagum,
sampai-sampai Khadijah menawarkan kepadanya. “Kalau Anda suka, dia milik Anda.
Kalau Anda ingin memerdekakannya, maka saya yang akan menjadi walinya,” kata
Khadijah. Sekarang, lanjut Khadijah, terhadap Zaid Anda boleh memerdekakan atau
menahannya. Walhasil, Zaid resmi menjadi budak Rasulullah SAW.
Dia memang
berakhlak baik. Tetapi, tuannya (Rasulullah SAW) jauh lebih baik. Zaid merasa
senang bersama Rasulullah. Bahkan, ia merasa telah mendapatkan orang terbaik
dalam sejarah hidupnya. Suatu hari, Zaid mendapat tugas menuju Kota Syam dengan
mengendarai onta milik Abu Thalib. Untuk itu, ia harus melewati tanah
kelahirannya yang juga negeri kaumnya. Saat itulah saudara kandung Haritsah
memergokinya, dan yakin yang dibuntuti adalah keponakannya, Zaid putra
Haritsah.
“Siapa
engkau wahai Kisanak? Maaf! Saya sepertinya nmengenal Anda,” begitu sapa lelaki
yang masih merupakan paman Zaid ini.
“Saya
adalah seorang budak dari penduduk Makkah, Tuan!,” jawab Zaid polos. Pamannya
tak kalah terkejut. “Jadi, Anda budak bukan orang merdeka,” katanya sambil
meneteskan air mata. Zaid hanya mengangguk untuk membenarkan.
Baiklah!
“Sekarang tunjukkan kamu budak milik siapa,” pamannya terus mengejar. Zaid pun
bicara apa adanya. “Saya milik Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.”
“Muhammad
itu orang Arab atau non Arab? Dan kamu dari keluarga mana?” tanya pamannya.
“Dia orang
Arab,“ jawabnya tegas. Sementara, aku, kata Zaid, yang saya ingat, saya berasal
dari keluarga Bani Abdu Wuddin. “Saya putra dari Haritsah bin Syarahbil. Ibuku
kalau tidak salah bernama Su’da,” katanya.
Mendengar
ini, lelaki tersebut yakin dan minta agar Zaid tidak pergi dulu, dia bergegas
memanggil Haritsah. Ayah Zaid langsung ‘digelendeng’. “Wahai Haritsah, apa
benar ini anakmu,” tanyanya.
Haritsah
memandangnya dengan tertegun. Ia hanya bisa menggigit dua bibirnya
rapat-rapat. Tidak terasa air matanya membasahi pipi. Meski perbudakaan adalah
lumrah di zaman jahiliyah, tetapi orangtua mana yang tega anaknya menjadi
budak. Pertama kali kalimat yang keluar, tentu, bagaimana tuanmu
memperlakukanmu. “Ya! Zaid, bagaimana tuanmu memperlakukanmu,” tanya Haritsah.
Zaid berkata apa adanya. “Dia memperlakukanku dengan baik. Bahkan dia lebih
mengutamakanku daripada istri dan anak-anaknya. Saya telah mendapat rejeki
berupa kecintaan yang tiada tara dari seseorang yang memiliki akhlak agung.
Saya tidak melakukan sesuatu kecuali mengikuti kehendaknya, Muhammad bin
Abdullah.”
Apapun, Haritsah ingin menebusnya. Apalagi saudaranya sanggup membiayai sehingga
Zaid menjadi anak yang merdeka. “Bolehkah kami ikuti kamu, sehingga bisa
bertemu tuanmu,” tanya pamannya. Zaid tak keberatan. Akhirnya mereka bertiga
menuju Makkah, bertemu Rasulullah SAW.
Sesampainya
di Makkah, Zaid mempertemukan ayahnya dengan Nabi. Haritsah sudah tak tahan
ingin membawa kembali anaknya. “Wahai tuan! Anda adalah penduduk Makkah, Tanah
yang dimuliakan Allah. Anda bebaskan orang yang menderita dan memberi makan
orang yang tertawan, yaitu anakku yang menjadi hambamu. Maka, kami mohon
sekarang berilah kami dan berbuat baiklah kepada kami untuk membebaskan anakku,
Zaid. Karena dia adalah anak pemimpin kaumnya, kami akan membayar tebusan
untukmu yang Anda suka,” begitu pamannya mengawali pembicaraan.
Apa jawab
Baginda Rasul? “Saya akan memberikan sesuatu yang lebih baik dari itu,”
katanya. “Apa itu Tuan Muhammad?,” tanya Haritsah.
Begini,
kata Rasulullah, “Saya akan memberinya pilihan. Jika Zaid memilih ikut kalian,
maka, ambillah tanpa tebusan. Tetapi, kalau dia memilih ikut aku, maka
ikhlaskan.”
Keluarga
Zaid terkejut. “Semoga Allah memberi balasan yang baik bagi Anda. Sungguh Anda
sangat baik hati,” kata Haritsah.
Saat itu
juga, Rasulullah memanggil Zaid. “Apakah kamu mengenal mereka?” tanya Baginda
Rasul.
“Tuan! Dia
adalah ayah, paman, dan semua saudaraku,” jawab Zaid. Lalu, Baginda Nabi SAW
menawarkan kepada Zaid, untuk memilih ikut siapa. “Zaid, mereka adalah ayah dan
saudaramu, jika kamu ingin ikut mereka, maka pergilah bersama mereka. Tetapi
kalau kamu ingin tetap bersamaku, aku adalah orang yang kamu kenal,” begitu
tawaran Rasulullah.
Zaid pun
tak kuasa menahan air mata. Baginya, kebaikan hati Rasulullah adalah
segala-galanya. Ia melebihi kebaikan saudara dan ayah kandungnya. “Ketahuilah
Tuan! Saya tidak akan memilih orang lain selain Anda untuk selamanya. Bagiku
Anda adalah ayah sekaligus pamanku,” jawabnya.
Pamannya
kaget. “Zaid! Apakah engkau memilih sebagai budak dari pada merdeka. Kami
datang untuk memerdekakanmu,” katanya serius. Zaid hanya geleng-geleng kepala.
“Terima kasih paman. Terus terang, saya tidak sanggup meninggalkan orang ini,
dia baik sekali. Sekali lagi, dia baik sekali,” jawabnya sambil menangis
sesenggukan.
Mendengar
dan menyaksikan situasi ini, Rasulullah SAW. bersabda: “Saksikanlah tuan, bahwa
Zaid sekarang merdeka. Dia tidak lagi menjadi budak.”
Haritsah dan Paman Zaid pun lega, hampir saja tidak percaya. Sebab
sepanjang sejarah, ia belum pernah menemukan lelaki sebaik dia. “Sungguh luar
biasa Zaid. Ikutilah dia! Kebaikkannya telah mengalahkan kebaikan ayah
kandungmu,” jelas pamannya. Subhanallah! Semoga kita bisa mengambil
teladan dari akhlak Beliau. amin. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar