Kita bercermin
kepada ulama besar, imam para ulama salaf, sekaligus kebanggaan generasi muda
di Kota Basrah saat itu. Dialah Ayyub bin Abi Tamimah yang akrab dipanggil
Ayyub As-Sakhtiani. Imam ahli hadits di zamannya yang terkenal kewara’an dan
kezuhudannya.
Imam
Adz-Dzahabi mengatakan, Ayyub As-Sakhtiani adalah ulama yang profesional. Ia
lahir pada tahun 68 H, saat Ibnu Abbas meninggal atau satu tahun sebelum
terjadi wabah Thau’n (penyakit menular).
Sementara Anas bin Malik berpendapat, “Aku tidak menemukan riwayat
kelahirannya, walaupun satu wilayah dengannya. Aku sempat bertemu ketika dia
berumur (kira-kira) dua puluh tahun.”
Dari sanjungan
para ulama terhadapnya, dia memang tampak luar biasa. Patut menjadi cermin. Menurut
Hamid bin Zaid, Ayyub As-Sakhtiani tidak pernah minum ketika dia membaca
Al-Quran. Lelaki ini setahun sekali potong rambut. Rambutnya dibiarkan panjang,
membuat dia sering mengepangnya. Muhammad bin Sirin, ketika mendapat sebuah
hadits dari Ayyub As-Sakhtiani, maka dia berkata: “Orang yang jujur dan
terpercaya telah memberitahukan kepadaku.”
Menurut Ishaq
bin Muhammad, Anas bin Malik sendiri telah mengatakan, “Kami pernah menemui
Ayyub, dan ketika kami sebutkan sebuah hadits Rasulullah SAW. dia langsung menangis,
sehingga kami merasa iba kepadanya.” Padahal, Ayyub sendiri selalu menutupi
tangisnya, dengan mengatakan, ‘aduh pilekku’ supaya orang di sekitarnya tidak
memahaminya.
Ayyub
membiasakan diri untuk menutup doanya dengan memohon pemimpin yang beriman. “Yang Allah! Jadikanlah orang-orang bertaqwa
sebagai pemimpin kami.” Bahkan, menurut Hammad bin Zaid, Ayyub sendiri
sesungguhnya berteman akrab dengan Yazid bin Al-Walid. Tetapi, ketika Yazid memegang kekuasaan
sebagai khalifah, Ayyub justru berusaha menjauhinya. Doanya kemudian ditambah,
“Ya Allah! Lupakanlah dia dari mengingatku,” demikian Ayyub yang selalu mengingatkan
betapa ‘bahaya’ dekat kekuasaan.
**
Hal yang sama
pernah disampaikan Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein, yang akrab dipanggil
Abu Abdillah. Menurut Imam Malik bin
Anas, Sufyan ast-Tsauri pernah mendapat wejangan dari Ja’far bin Muhammad.
Isinya: “Wahai Sufyan, apabila Allah SWT. melimpahkan rahmat-Nya kepadamu,
sementara kamu ingin nikmat tersebut tetap ada padamu, bahkan bertambah, maka
kamu harus banyak bertahmid dan bersyukur kepadaNya. Akan tetapi jika rejekimu
terasa lambat, maka kamu harus memperbanyak istighfar,” demikian Ja’far bin
Muhammad.
Lalu? “Wahai
Sufyan, sesungguhnya kamu adalah orang yang sedang dicari-cari pemerintah,
digandrungi pemerinah, karena pemerintah sedang membutuhkanmu. Dan, aku
berpesan supaya kamu waspada terhadap pemerintah. Bangkitlah dan yakinkan
dirimu bahwa kamu tidak akan disia-siakan,” demikian wejangan Ja’far bin
Muhammad.
Ya! Ja’far
tidak ingin ulama membebek kepada pemerintah, apalagi menjadi stempel pemerintah
sehingga tidak berani berkata yang benar itu benar, yang salah itu salah. Ulama
yang takut kepada pemerintah adalah ulama yang menggantungkan dirinya kepada
penguasa, bukan kepada Allah SWT. Ulama yang demikian akan jauh dari umat.
Naudzubillahi min dzalika!.
***
Kekhawatiran
yang sama pernah disampaikan Thawus al-Yamani. Saat itu, Hisyam bin Abdul
Malik, penguasa Bani Umayah, tengah menikmati indahnya menjadi ‘orang besar’.
Selaku amirul mukminin, semua bisa dikomando untuk memenuhi kebutuhannya. Para
pengawal sendiko dawuh, pejabat dan staf tunduk dalam perintahnya. Bahkan tidak
sedikit ulama yang larut, manut dengan kemauannya.
Al-kisah, suatu ketika, di bulan Dzulhijah, pada musim haji, Hisyam bin Abdul Malik datang ke Baitullah untuk berhaji. Sebagai orang besar, tentu, penyambutannya luar biasa. Begitu masuk Masjidil Haram, Hisyam berkata: “Tolong hadirkan ke hadapanku salah seorang sahabat,” begitu perintahnya.
“Sahabat? Maaf Amirul Mukminin, itu tidak mungkin. Karena semua sahabat sudah wafat,” jawab salah seorang pengawal menjelaskan. “Oh iya! Kalau begitu dari kalangan tabi’in saja,” kata Hisyam.
“Siap, yang mulia!,” salah seorang pengawal dengan cepat menuju rumah salah seorang ulama sederhana di daerah Makkah al-Mukarramah. Dialah Thawus al-Yamani. Setelah berbasa-basi, Thawus diajak menghadap sang khalifah.
Di luar dugaan. Begitu sampai, Thawus melepas sandalnya, berjalan di atas permadani menuju tempat duduk sang khalifah. Tanpa salam, tanpa panggilan kehormatan, apalagi sampai membungkuk. Tidak! Thawus langsung duduk di sebelah khalifah tanpa permisi. “Bagaimana kabarmu wahai Hisyam,” begitu ia memulai menyapa dengan gaya datar.
Al-kisah, suatu ketika, di bulan Dzulhijah, pada musim haji, Hisyam bin Abdul Malik datang ke Baitullah untuk berhaji. Sebagai orang besar, tentu, penyambutannya luar biasa. Begitu masuk Masjidil Haram, Hisyam berkata: “Tolong hadirkan ke hadapanku salah seorang sahabat,” begitu perintahnya.
“Sahabat? Maaf Amirul Mukminin, itu tidak mungkin. Karena semua sahabat sudah wafat,” jawab salah seorang pengawal menjelaskan. “Oh iya! Kalau begitu dari kalangan tabi’in saja,” kata Hisyam.
“Siap, yang mulia!,” salah seorang pengawal dengan cepat menuju rumah salah seorang ulama sederhana di daerah Makkah al-Mukarramah. Dialah Thawus al-Yamani. Setelah berbasa-basi, Thawus diajak menghadap sang khalifah.
Di luar dugaan. Begitu sampai, Thawus melepas sandalnya, berjalan di atas permadani menuju tempat duduk sang khalifah. Tanpa salam, tanpa panggilan kehormatan, apalagi sampai membungkuk. Tidak! Thawus langsung duduk di sebelah khalifah tanpa permisi. “Bagaimana kabarmu wahai Hisyam,” begitu ia memulai menyapa dengan gaya datar.
Karuan, semua
terperanjat. Hisyam pun marah, hampir saja membunuhnya. Tapi, semua mencegah.
“Wahai amirul mukminin, Baginda sekarang berada di tanah haram milik Allah dan
Rasulnya, di sini diharamkan tumpah darah,” seorang pengawal mengingatkan.
Thawus tenang, tidak ada perasaan gundah. Meski ia dicaci maki karena dianggap tidak memiliki sopan santun, tidak hormat kepada khalifah, bahkan berani kepada sang pembesar yang seharusnya dihormati dan ditakuti. Suasana semakin hening, tidak ada yang berani bicara. Tapi, Thawus tetap memandang wajah Hisyam yang semakin gundah.
“Baiklah Thawus, apa yang membuat kau berani bersikap seperti ini,” begitu Hisyam mulai memecah keheningan.
Ditanya begitu, Thawus malah balik bertanya. “Lho, memang, apa yang aku perbuat Hisyam,” seraya menunjukkan mimik orang tak bersalah.
“Baik! Jelaskan padaku mengapa kau seenaknya di sampingku!” sang khalifah geram.
“Aku mencopot sandalku di pinggir permadanimu, karena sudah terbiasa (minimal 5 kali sehari) saya berhadapan dengan Allah SWT. dan, Dia tidak pernah marah kepadaku,” jelas Thawus.
Thawus tenang, tidak ada perasaan gundah. Meski ia dicaci maki karena dianggap tidak memiliki sopan santun, tidak hormat kepada khalifah, bahkan berani kepada sang pembesar yang seharusnya dihormati dan ditakuti. Suasana semakin hening, tidak ada yang berani bicara. Tapi, Thawus tetap memandang wajah Hisyam yang semakin gundah.
“Baiklah Thawus, apa yang membuat kau berani bersikap seperti ini,” begitu Hisyam mulai memecah keheningan.
Ditanya begitu, Thawus malah balik bertanya. “Lho, memang, apa yang aku perbuat Hisyam,” seraya menunjukkan mimik orang tak bersalah.
“Baik! Jelaskan padaku mengapa kau seenaknya di sampingku!” sang khalifah geram.
“Aku mencopot sandalku di pinggir permadanimu, karena sudah terbiasa (minimal 5 kali sehari) saya berhadapan dengan Allah SWT. dan, Dia tidak pernah marah kepadaku,” jelas Thawus.
“Teruskan!,”
Hisyam masih geram.
“Mengapa aku tidak ucapkan salam ketika bertemu denganmu dan tidak menyapa sebagai amirul mukminin, karena tidak semua umat Islam setuju atas naiknya engkau menjadi pemimpin di negeri ini. Aku takut menjadi seorang pendusta, aku tidak mau menjadi penjilat,” terangnya.
“Baik! Lalu, mengapa kamu tidak memanggil dengan julukanku,” sergah Hisyam.
“Hisyam! Ketauhilah, Allah SWT. juga menamai nabi-nabinNya. Tetapi Allah juga memanggil mereka dengan namanya, seperti wahai Daud, wahai Yahya, wahai Isa. Anda tidak perlu gusar bukan,” katanya.
“Lalu, mengapa kau duduk di sampingku tanpa izin?” tanya Hisyam lagi.
“Oh itu!” Thawus sambil melihat para pengawal, lalu menjelaskan, pernahkah kau mendengar Hisyam, bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Bila kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seorang yang duduk, sementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya.”
Hisyam termangu. Tapi, Thawus terus berbicara, ”Sahabat Ali juga menjelaskan bahwa di neraka jahannam terdapat ular dan kalajengking sebesar bighal (peranakan antara kuda dan keledai ) yang pekerjaannya mematuk penguasa yang dholim, tidak berlaku adil terhadap rakyatnya.” Begitulah, Thawus lalu pergi.
Sebagai ulama ia telah menjaga integritasnya, tidak membebek kepada penguasa, apalagi sampai berlindung kepadanya. Thawus juga tidak aji mumpung dengan membawa proposal ketika dibutuhkan menghadap penguasa, tidak berharap bantuan apa pun dari khalifah, apalagi sampai minta tolong untuk menyelamatkan kedudukan di depan umatnya. Subhanallah! Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatNya bagi ulama-ulama besar seperti ini, amin ya robbal alamin. Wallahu’alam bish-shawab. (*)
“Mengapa aku tidak ucapkan salam ketika bertemu denganmu dan tidak menyapa sebagai amirul mukminin, karena tidak semua umat Islam setuju atas naiknya engkau menjadi pemimpin di negeri ini. Aku takut menjadi seorang pendusta, aku tidak mau menjadi penjilat,” terangnya.
“Baik! Lalu, mengapa kamu tidak memanggil dengan julukanku,” sergah Hisyam.
“Hisyam! Ketauhilah, Allah SWT. juga menamai nabi-nabinNya. Tetapi Allah juga memanggil mereka dengan namanya, seperti wahai Daud, wahai Yahya, wahai Isa. Anda tidak perlu gusar bukan,” katanya.
“Lalu, mengapa kau duduk di sampingku tanpa izin?” tanya Hisyam lagi.
“Oh itu!” Thawus sambil melihat para pengawal, lalu menjelaskan, pernahkah kau mendengar Hisyam, bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Bila kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seorang yang duduk, sementara orang-orang di sekitarnya berdiri menghormatinya.”
Hisyam termangu. Tapi, Thawus terus berbicara, ”Sahabat Ali juga menjelaskan bahwa di neraka jahannam terdapat ular dan kalajengking sebesar bighal (peranakan antara kuda dan keledai ) yang pekerjaannya mematuk penguasa yang dholim, tidak berlaku adil terhadap rakyatnya.” Begitulah, Thawus lalu pergi.
Sebagai ulama ia telah menjaga integritasnya, tidak membebek kepada penguasa, apalagi sampai berlindung kepadanya. Thawus juga tidak aji mumpung dengan membawa proposal ketika dibutuhkan menghadap penguasa, tidak berharap bantuan apa pun dari khalifah, apalagi sampai minta tolong untuk menyelamatkan kedudukan di depan umatnya. Subhanallah! Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmatNya bagi ulama-ulama besar seperti ini, amin ya robbal alamin. Wallahu’alam bish-shawab. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar